Ayahku adalah figur tegas, disiplin, dan konsisten dalam banyak hal walaupun selalu bersikap lemah lembut kepadaku. Bagiku, dia seperti sepasang sayap pelindung yang kuat menghadapi badai dari luar namun lembut dan hangat di dalam. Betapa perjalananku terasa tenang dan percaya diri karena itu. Aku melanjutkan studi di Jogja, kota yang jauh dari kota asalku, Kota Batam. Ayah memastikan semua siap dan baik-baik saja untukku. Waktu melesat seperti anak panah terlepas dari busurnya. Aku hampir menyelesaikan studi tingkat sarjana bidang manajemen pariwisata di salah satu perguruan tinggi. Saat itu aku telah dekat dengan seorang laki-laki baik. Sebut saja namanya adalah Risto.
Suatu hari, aku mendapat kabar yang mendorongku jatuh dan menangis. Ayahku wafat. Bagaimana mungkin? Ayah selalu dalam kondisi sehat dan tidak pernah sakit berat. Aku sangat tahu itu, hampir tidak percaya pada kabar itu. Kehilangan orang yang tercinta selalu memberi luka dan duka. Aku berkemas. Risto menemaniku pulang ke Batam. Menurutnya, kondisi duka jangan melakukan perjalanan jauh sendirian.
Kami tiba di Batam, ketika jejak kaki menyentuh tanah kota, kurasa hatiku langsung menjadi ribuan debu berserakan. Aku, ditemani Risto, masuk ke rumah dan seketika tidak kuasa lagi menahan. Duka yang mengalir dalam darahku menyeruak keluar menjadi air mata. Aku terisak, selalu terisak.
Tiga hari setelah pemakaman ayahku, Ibu mendatangi Risto yang sedang bercengkrama denganku di ruang tamu. “Kalian harus segera menikah. Agar terhindar fitnah. Anunk sudah tidak punya ayah, maka dia harus ada yang melindungi untuk hal-hal yang baik.” Sedikit terkaget, aku menatap wajah Ibu yang cantik namun terbalut duka.Ayahku adalah figur tegas, disiplin, dan konsisten dalam banyak hal walaupun selalu bersikap lemah lembut kepadaku. Bagiku, dia seperti sepasang sayap pelindung yang kuat menghadapi badai dari luar namun lembut dan hangat di dalam. Betapa perjalananku terasa tenang dan percaya diri karena itu. Aku melanjutkan studi di Jogja, kota yang jauh dari kota asalku, Kota Batam. Ayah memastikan semua siap dan baik-baik saja untukku. Waktu melesat seperti anak panah terlepas dari busurnya. Aku hampir menyelesaikan studi tingkat sarjana bidang manajemen pariwisata di salah satu perguruan tinggi. Saat itu aku telah dekat dengan seorang laki-laki baik. Sebut saja namanya adalah Risto.
Suatu hari, aku mendapat kabar yang mendorongku jatuh dan menangis. Ayahku wafat. Bagaimana mungkin? Ayah selalu dalam kondisi sehat dan tidak pernah sakit berat. Aku sangat tahu itu, hampir tidak percaya pada kabar itu. Kehilangan orang yang tercinta selalu memberi luka dan duka. Aku berkemas. Risto menemaniku pulang ke Batam. Menurutnya, kondisi duka jangan melakukan perjalanan jauh sendirian.
Kami tiba di Batam, ketika jejak kaki menyentuh tanah kota, kurasa hatiku langsung menjadi ribuan debu berserakan. Aku, ditemani Risto, masuk ke rumah dan seketika tidak kuasa lagi menahan. Duka yang mengalir dalam darahku menyeruak keluar menjadi air mata. Aku terisak, selalu terisak.
Tiga hari setelah pemakaman ayahku, Ibu mendatangi Risto yang sedang bercengkrama denganku di ruang tamu. “Kalian harus segera menikah. Agar terhindar fitnah. Anunk sudah tidak punya ayah, maka dia harus ada yang melindungi untuk hal-hal yang baik.” Sedikit terkaget, aku menatap wajah Ibu yang cantik namun terbalut duka.
Menikah.
Aku masih berusia 22 tahun. Tidak kah ini usia terlalu dini? Beberapa saat kemudian aku menundukkan wajah. Situasi ini membuatku sangat merindukan ayah. Kudengar, Risto menjawab pelan namun mantap. “Saya akan menikahi Anunk secepatnya.” Risto meyakinkan pada Ibuku bahwa dia akan menikahiku tanpa menunggu waktu lama lagi. Aku melirik Ibu, kurasa ada kelegaan yang memancar dari kedua matanya. Aku sendiri berdegub di dada. Sudah siapkah aku? Risto pulang ke Jogja, aku masih tetap tinggal di Batam.
Risto menepati apa yang dikatakannya pada Ibu. Satu bulan setelah itu, dia datang melamar. Aku bertanya ke lelaki berkarakter keras dan mandiri itu. “Apakah kamu sudah siap dengan pekerjaan setelah menikah nanti?” Risto menjawabku dengan senyum kecil. “Kita memiliki pendidikan tinggi dan komitmen. Pekerjaan bisa dicari dan diciptakan.” Aku menarik napas dalam. Entah harus bahagia atau sebaliknya atas jawaban laki-laki yang akan menjadi suamiku itu. Aku hanya tahu, dia belum memiliki pekerjaan tetap.
Waktu berjalan membawa aku dan Risto pada acara pernikahan. Semua persiapan secara rawe-rawe rantas malang-malang putung dilakukan oleh ibu, kedua adikku dan keluarga. Hal yang kuhadapi selama persiapan pernikahan lebih pada sisi mental. Tanpa ayah di sisiku, dan usia yang masih relatif muda adalah dua fakta yang memberati hati. Apakah bisa kuhadapi dunia ini? Apakah aku akan berhasil?
Pada acara pernikahan, hatiku terbelah, sungguh terbelah menjadi dua. Hati yang pertama adalah luka duka. Hati yang kedua adalah suka cita. Aku meneteskan air mata. Mungkin air mata yang memiliki rasa manis dan pahit sekaligus. Kenangan silam tentang ayah seperti slide show yang terus silih berganti.
Ruang Kosong
Kenangan ayah menimangku waktu kecil, dia matikan lampu ruang tengah untuk mengusir teman laki-laki SMA yang main ke rumah, sampai kesibukannya mempersiapkan segala sesuatu ketika aku belajar di Jogja. Namun, dia tidak ada dalam pesta pernikahan anak perempuan satu-satunya. Sesaat muncul perasaan iri pada mereka yang bisa dihadiri oleh dua orang tua dalam pernikahan. Aku segera memejamkan mata, menghalau semua pikiran buruk berdatangan.
Ketidakhadiran ayah dalam pernikahanku karena telah wafat adalah ruang kosong yang tajam. Pernikahan berarti menjadi keluarga yang mandiri. Aku tahu, jika ayah masih hidup pasti akan banyak petatah dan petitih untukku. Aku tertunduk dalam keramaian pernikahanku sendiri. Aku hanya bisa berdoa untuk ayah agar tempat terbaik untuknya di sana.
Tiba-tiba, di antara keramaian pesta pernikahan ada bisik sangat halus mengiang di hati. “Kamu harus melangkah mantap tanpa keraguan. Kamu harus menggunakan ilmu dan jiwa yang telah ayah wariskan untuk meniti masa depan." Ah, aku merasakan kehadiran ayah di dekatku. Entahlah, aku jadi merasa bahagia, lega dan optimis. Aku mengangkat kepala, menatap para tamu yang hadir dengan senyum. Seperti cara ayahku tersenyum kepadaku.
Terang dan gelap, sakit dan sehat, senang dan sedih, pagi dan malam, kulalui. Tidak mudah. Sudah 12 tahun sejak pesta pernikahan yang tidak dihadiri oleh ayahku. Kini dia telah punya dua cucu dariku. Keduanya tumbuh sehat dan prestasi membanggakan keluarga. Risto menepati kata-katanya sebelum menikah. Dia memiliki usaha sendiri, dan makin tumbuh menggembirakan. Dan, aku akan selalu menjadi perempuan dengan senyum seperti senyum ayahku.
Sumber : Female